Assaalamualaikum
Photobucket

Selasa, 31 Maret 2009

Pola Ijtihad

Dalam perspektif ushul fiqih, setidaknya terdapat tiga pola (tariqat) atau metode ijtihad, yaitu bayani (linguistik), ta’lili (qiyasi: kausasi) dan istislahi (teleologis). Ketiganya, dengan modifikasi di sana sini, merupakan pola umum yang dipergunakan dalam menemukan dan membentuk peradaban fiqih dari masa ke masa. Dengan berbagai pola dan basis epistemik inilah lahir dan tersusun ribuan kitab fiqih dengan derivasi cabang yang bermacam-macam di dalamnya.
Pola ijtihad bayani adalah upaya

penemuan hukum melalui interpretasi kebahasaan. Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada sekitar penggalian pengertian makna teks. Usaha ini mengandung kelemahan jika dihadapkan dengan permasalahan yang baru yang hanya bisa diderivasikan dengan makna yang jauh dari teks. Pola implementasi inilah yang berkembang dan dipergunakan oleh para mujtahid hingga abad pertengahan dalam merumuskan berbagai ketetapan hukum. Mereka hanya melakukan reproduksi makna dan belum melakukan produksi makna baru.
Sebagai pengembangan, sebenarnya pada masa kontemporer ini mulai ada upaya rethinking metode ini dengan memakai alat bantu filsafat bahasa yang memungkinkan dapat melakukan produksi makna baru. Salah satu pendekatan dimaksud adalah interpretasi produktif yang dikemukakan oleh Gadamer. Interpretasi produktif sebagai model dari hermeneutika memiliki relevansi tersendiri dalam upaya interpretasi terhadap penemuan hukum Islam. Mekanisme interpretasi produktif Gadamer ini dimulai dengan memandang suatu teks tidak hanya terbatas pada masa lampau (masa teks itu dibuat) tetapi memiliki keterbukaan untuk masa kini dan mendatang untuk ditafsirkan menurut pandangan suatu generasi. Sebagai hal yang bersifat historis, sebuah pemahaman sangat terkait dengan sejarah, yaitu merupakan gabungan dari masa lalu dengan masa sekarang.
Namun, upaya ini sepertinya tidak begitu berkembang. Karena kurangnya spisifikasi analisis sosial dan tiadanya mekanisme operasional yang jelas adalah di antara faktor kurang berkembang dan diminatinya metode ini. Akhirnya, apriori asumsi muncul bahwa pengembangan penafsiran teks dengan memakai tawaran Gadamer ini, bagaimanapun diusahakan, tetap saja akan terjebak dengan hegemoni makna lama dari pada pencapaian makna baru. Dalam konteks sebagai sarana bantu penyelesaian kasus hukum baru, upaya penafsiran ini berimplikasi pada pencapaian status hukum yang tetap rigid dan kaku. Karena, upaya maksimal yang dapat dilakukan hanya mampu memodifikasi makna baru teks, membuat metode ini hanya cocok dipakai dalam ranah terbatas.
Sedangkan pola ijtihad ke dua yaitu ta’lili (kausasi) berusaha meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nas ke kasus cabang yang memiliki persamaan illat. Dalam epistemologi hukum Islam pola ini teraplikasi melalui qiyas. Dasar rasional aplikasi pola ini adalah adanya keyakinan kuat mujtahid yang melakukan qiyas mengenai adanya suatu atribut (wasf) pada kasus pokok yang menjadi alasan ditetapkannya hukum yang berlaku terhadap kasus tersebut dan atribut yang sama terdapat pada kasus cabang sehingga hukum kasus pokok itu berlaku pada kasus cabang.
Dengan melihat dasar dan pola operasionalnya, terlihat bahwa metode ini sangat gagap jika harus dihadapkan pada penyelesaian berbagai kasus baru yang muncul. Ke-monolitik-an metode ini menguasakan hukum segala persoalan aktual kepada nas, dengan cara menempelkan hukum masalah di dalam nas (asal) kepada cabang. Deduktifitas qiyas –dengan sendiri– menjauhkannya dari nuansa empirical approach, alih-alih equilibrium approach bagi sebuah metode, yang mengakibatkan produk hukum yang dihasilkan terasa utopis, sui generis, dan “ngawang-ngawang”, tidak menyelesaikan masalah. Karena, ideal sebuah metode penemuan hukum tidak semata berpijak pada nalar bayani (bahasa, teks, nas) akan tetapi perpaduan gerak nalar bayani dan nalar alami (perubahan empirik).
Upaya penemuan metode yang prospektif-futuristik sebenarnya dapat diharapkan pada pola ijtihad istislahi yang lebih memberi ruang kepada kemungkinan analisis sosial. Namun usaha yang dirintis oleh al-Ghazali dan tertata sebagai bidang keilmuan yang mantap dan terstruktur di tangan as-Syatibi ini tidak begitu berkembang, dipakai sebagai piranti ijtihad. Alasan umum realitas ini adalah tiadanya kata mufakat di antara pemikir akan otensitas dan landasan epistemik pola ini sebagai metode penemuan hukum Islam. Sebagaimana akan terlihat nanti betapa prospek metode ini akhirnya hilang dan baru muncul pada akhir-akhir ini dengan format, struktur dan kemasan yang modern.
Sampai di sini, terasa sekali kesan bahwa studi hukum Islam yang berkembang selama ini adalah semata-mata bersifat normatif dan sui-generis. Kesan demikian ini sesungguhnya tidak terlalu berlebihan, karena jika kita cermati dari awal dan mendasar, usul al-fiqh sendiri –yang nota bene merupakan induk dasar metode penemuan Islam itu sendiri— selalu saja didefinisikan sebagai "القواعد لإستنباط الآحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية" “seperangkat kaidah untuk mengistimbathkan hukum syar’i amali dari dalil-dalilnya yang tafsili”.
Istilah yang tidak pernah lepas tertinggal dari semua definisi usul al-fiqh tersebut adalah kalimatمن أدلتها التفصيلية . Ini memberi kesan sekaligus membuktikan bahwa kajian metode hukum Islam memang terfokus dan tidak lebih dari pada analisis teks.Lebih dari itu, definisi di atas juga memberi petunjuk bahwa hukum dalam Islam hanya dapat dicari dan diderivasi dari teks-teks wahyu saja (law in book). Sementara itu, realitas sosial empiris yang hidup dan berlaku di masyarakat (living law) kurang mendapatkan tempat yang proporsional di dalam kerangka metodologi hukum Islam klasik.
Lemahnya analisis sosial empiris (lack of empiricism) inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini. Dari tiga model metode penemuan hukum Islam yang merupakan jabaran dari ushul fiqh klasik di atas, adalah ilustrasi nyata akan semua asumsi sulitnya kajian hukum Islam memberi proporsi yang seimbang bagi telaah empiris. Studi ushul al-fiqh pada akhirnya masih berputar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif dan tetap saja bersifat sui-generis.
Kesulitan ini dari masa ke masa tetap saja merupakan tantangan yang belum terjawab tuntas. Walaupun usaha menjawab tantangan ini telah banyak dilakukan diantaranya melalui tawaran metodologis yang diusulkan oleh para pemikir hukum Islam klasik seperti al-Ghazali dengan metode induksi dan tujuan hukumnya maupun asy-Syatibi dengan induksi tematisnya. Menurut sebagian pengamat, meskipun telah merintis jalan pengembangan analisis empiris, tetapi dalam praktek dan kebanyakan tulisan mereka masih terpusat pada analisis normative-tekstual. Demikian juga upaya pembaruan pemikiran kontemporer, sebagaimana dilakukan oleh Fazlur Rahman sampai Muhammad Sahrur, masih belum memberikan ketegasan untuk menjawab pertanyaan sekaligus persoalan di atas. Artinya, meskipun telah demikian jauh diupayakan perluasan (makna) teks melalui berbagai cara, kecenderungan mendasar tekstualitas sekaligus kurangnya analisis empiris metode penemuan hukum Islam masih belum terselesaikan. Paling tidak secara metodologis hukum Islam, dengan demikian, masih menyisakan ruang kosong (jarak) antara dirinya dengan realitas di sekelilingnya.
Tekstualitas metode penemuan hukum Islam (ushul al-fiqh) tersebut di atas tentu saja bukan suatu kebetulan. Sebaliknya, ia merupakan karakteristik yang lahir dari satu sistem paradigma, epistemologi dan orientasi kajian tertentu. Penjabarannya bisa dilacak lebih jauh dengan adanya fakta bahwa sebagian besar umat Islam masih menganut subjektifisme teistik yang berimplikasi pada satu keyakinan bahwa hukum hanya dapat dikenali melalui wahyu Ilahi yang dibakukan dalam kata-kata yang dilaporkan Nabi berupa al-Qur’an dan as-Sunnah. Contoh dari keyakinan inilah yang tampaknya telah ikut menggiring fokus wacana hukum Islam pada analisis teks-teks suci tersebut.
Disadari bahwa kecenderungan tekstualitas yang berlebihan dalam metode penemuan hukum seperti ini pada gilirannya telah memunculkan kesulitan dan ketidak-cakapan hukum Islam itu sendiri dalam merespon dan menyambut gelombang perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in book oriented dan kurang memperhatikan law in action --sebagai akibat dari kecenderungan tekstualitas metodologinya-- tidak kecil kemungkinan akan selalu tertinggal di belakang sejarah; sampai batas tertentu bahkan mungkin ditinggalkan karena tidak releven lagi dengan situasi aktual umatnya.
Dalam pandangan Louay Safi, sangat terbatasnya metode-metode klasik untuk diterapkan dalam menghadapi realitas modern inilah, sesungguhnya, kesulitan yang dihadapi pemikir muslim saat ini. Ketidak-cakapan metode tradisional juga terungkapkan dalam dua kecenderungan yang saling berlawanan secara diametral, yaitu pembatasan lapangan ijtihad ke dalam penalaran legalistik dan adanya kecenderungan menghilangkan seluruh kriteria dan standar rasional dengan menggunakan metodologi yang murni intuitif dan esoteris. Aspek lain dari keterbatasan tersebut adalah ketika studi fenomena sosial mengharuskan pendekatan holistik yang dengan cara demikian relasi-relasi sosial disistematisasikan menurut aturan-aturan universal, justru metode klasik bersifat atomistik yang pada dasarnya disandarkan pada penalaran analogis.
Keterbatasan metode klasik tersebut pada akhirnya membawa kajian keislaman pada satu krisis metodologis yang melanda hampir seluruh wilayah kajian Islam termasuk di bidang hukum. Pada situasi seperti inilah kemunculan satu tawaran alternatif yang bisa menutupi kekurangan metode sebelumnya menjadi sangat diharapkan. Khususnya di dalam hukum Islam, adanya upaya metodologi baru diharapkan bisa memberi jalan yang lebih memungkinkan untuk menjembatani problem tekstualitas tersebut di atas ke arah kontekstualisasi metode penemuan hukum Islam.
by Muhajir Rizki



Related Articles by Categories


0 komentar:

Panduan Cara Mudah Belajar Bahsa Arab

Grab this Widget ~ Blogger Accessories