Seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi pada masa sahabat (setelah wafat Nabi saw ), banyak sahabat yang tampil memberikan pendapat (fatwa) dalam menjawab berbagai masalah hukum yang muncul. Sebagian ahli ushul fiqh menyebut pendapat sahabat dengan qaul sahabi ( perkataan/ pendapat sahabat). Sebahagian lain menamakannya dengan fatwa sahabi. Sementara itu,
banyak pula ahli ushul fiqh yang menyebutkan dengan mazhab sahabi.
Kajian mengenai mazhab sahabi menjadi salah satu tema meanrik dikalangan ahli ushul fiqh, meskipun mereka menempatkannya dalam bahasan dalil syara’ yang diperselisihkan. Bahkan, menurut Amir Syarifuddin, Aznawi dalam bukunya Syarh Minhaj al-Ushul menempatkan mazhab sahabi sebagai dalil syara’ yang ditolak.
Dengan demikian mazhab sahabi berbeda dengan ijma’ sahabi yang mempunyai kedudukan yang kuat dan tinggi sebagai dalil syara’ karena kehujjahannya diterima semua ahli usul fiqh. Bahkan ijma’ sahabat dipandang lebih kuat dari nash sebagai pernyataan para ahli ushul berikut:
االاحماع اقوى من النص
“ijma’ itu lebih kuat dari Nash”
Pengertian Mazhab Sahabi
Yang dimaksud dengan mazhab sahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW.tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib, ahli hadist berkebangsaan Syiria, dalam karyanya Ushul al- Hadits adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah. Misalnya Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Sabit, Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib. Mereka ini adalah di antara para sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum Islam.
Bentuk-Bentuk Mazhab Sahabi
Dalam pandangan Abu Zahrah, fatwa sahabat terdiri dari beberapa bentuk :
1) Apa yang disampaikan sahabat itu berupa berita yang didengarnya dari Nabi, tetapi ia tidak menyatakan bahwa berita itu sebagai sunnah Nabi saw.
2) Apa yang diberitakan sahabat itu sesuatu yang didengarnya dari orang yang pernah mendengarnya dari Nabi, tetapi orang tersebut tidak menjelaskan bahwa yang didengarnya itu berasal dari Nabi.
3) Sesuatu yang disampaikan sahabat itu merupakan hasil pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang orang lain tidak memahaminya.
4) Sesuatu yang disampaikan sahabat telah disepakati lingkungannya, namun yang menyampaikan hanya sahabat itu hanya seorang diri.
5) Apa yang disampaikan sahabat merupakan hasil pemahamannya atas dalil-dalil karena kemampuannya dalam bahasa dan dalam penggunaan dalil lafal.
D. Kehujahan Mazhab Sahabi
Mazhab sahabi pada dasarnya adalah fatwa atau pendapat sahabat Nabi Saw. Dalam menentukan kehujjahan atau kekuatan mazhab sahabi sebagai dalil hukum terkait dengan bentuk dan asal fatwa sahabat tersebut. Dalam hal ini, permasalahan yang dibahas dalam Ushul Fiqh dalam kaitan ini adalah, apakah fatwa-fatwa mereka itu harus diikuti para mujtahid setelah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ dalam menetapkan hukum atau tidak. Dalam hal ini, Abdul Karim Zaidan membagi pendapat sahabat ke dalam empat katagori, yaitu :
1) Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad. Misalnya fatwa Ibnu Mas’ud, bahwa batas minimal waktu haid tiga hari, dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa-fatwa seperti ini bukan merupakan hasil ijtihad para sahabat dan besar kemungkinan hal itu mereka terima dari Rasulullah. Oleh karena itu, fatwa-fatwa semacam ini disepakati menjadi landasan hukum bagi generasi sesudahnya.
2) Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas di kalangan mereka dikena dengan ijma’ sahabat. Fatwa seperti ini menjadi pengangan bagi generasi sesudahnya.
3) Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat lain. Para mujtahid di kalangan sahabat memang sering menjadi perbedaan pendapat dalam satu masalah, namun dalam hal ini fatwa seorang sahabat tidak mengikat ( diikuti) sahabt yang lain.
4) Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.
Ulama berbeda pendapat tentang fatwa sahabat secara perorangan tersebut dapat merupakan hasil ijtihad, apakah mengikat ngenarasi sesudahnya atau tidak nengikat. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, dan menurut Wahbah az-zuhaili, beberapa pendapat itu dapat disimpulkan kepada dua pendapat, sebagai berikut:
1. Kalangan Hanafiah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin Hambal, bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan oleh generasi sesudahnya. Alasan mereka antara lain:
a. Firman Allah SWT:
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.(QS.Ali Imran/3:110).
Ayat ini menjelaskan bahwa umat Islam merupakan umat terbaik yang diciptakan Allah dari sekalian manusia dengan misi menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Umat Islam yang dimaksud dalam ayat ini adalah para sahabat Nabi Saw. Misi yang merek ajalankan haruslah diikuti dan dijalankan umat Islam sesudah mereka.
b. Sabda Rasulullah Saw :
ااًًصحابى كالنجوم باْيهم اقتديتم اهتديتم
Artinya: “para sahabatku bagaika bintang-bintang, siapa pun diantara mereka yang kalian ikuti, maka kalian akan mendapat petunjuk”. (HR.Abu Daud).
Dalam Hadist lain, Nabi Saw bersabda :
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الارشدين من بعدي
Artinya: “Adalah kewajibanmu untuk mengikuti SunnahKu dan Sunnah Khulafa al-Rasyidin yang dating sesudahku.”( HR. Ibnu Majah).
Kedua Hadits tersebut menurut ulama yang menerim kehujjahan fatwa sahabat memahami kedua hadits ini sebagai perintah bagi umat Islam untuk mengikuti fatwa sahabat.
2. Kalangan Mu’tazilah , Syiah dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hambal bahwa fatwa sahabat tidak menikat generasi seterusnya atau sesudanya. Di antara alasan yang mereka kemukakan adalah:
a. Firman Allah SWT :
…........
Artinya: “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (QS. Al-Hasyr/59:2).
Menurut kalangan ulama yang berpegang pada pendapat ini, perintah ayat tersebut untuk “mengambil pelajaran” adalah perintah melakukan ijtihad. Jadi, ayat ini memerintahkan mereka yang memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad. Hal ini baru bisa terwujud manakala seorang yang disebut mujtahid tidak mengikuti pendapat atau fatwa sahabat. Apabila mereka mengikuti pendapat sahabat berarti bertentangan dengan kehendak ayat yang memerintahkan mereka melakukan ijtiad.
b. Para sahabat bukanlah termasuk orang yang dijamin Allah maksum ( bebas dari dosa dan kesalahan), sama halnya dengan para mujtahid lainnya. Oleh karena itu, fatwa mereka munkin saja ada yang keliru. Sesuatu yang mengandung kemungkinan keliru tidak boleh diikuti.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, ahli Ushul Fiqh berkebangsaan Mesir, menganggap pendapat yang pertama, yaitu bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan, lebih kuat untuk dipegang. Alasanya, bahwa para sahabat adalah generasi yang paling dekat dengan Rasulullah. Mereka banyak menyaksikan pembentukan hukum dari Rasulullah dan banyak mengetahui tentang latar belakang turunya ayat, serta orang yang paling tahu, setealah Rasulullah, tentang maksud dari ayat atau hadits Rasulullah. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih dapat dipercaya sehinngga lebih harus dijadikan rujukan.
E. Beberapa contoh Fatwa Sahabat
Di antara contoh fatwa-fatwa sahabat sebagai berikut:
1) Fatwa Aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita dua tahun melalui ungkapannya: ”anak tidak berada dalam perut ibunya lebih dari dua tahun”.
2) Fatwa Anas bin Malik yang menerangkan tentang masa minimal haid seorang wanita, yaitu tiga hari.
3) Fatwa Umar bin Khattab tentang laki-laki yang menikahi wanita yang sedang dalam masa iddah harus dipisahkan dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut untuk selamanya.
Kesimpulan
Fiqh para sahabat khususnya seperti diwakili oleh al-Khulafa, al-Rasyidun adalah fondasi utama dari seluruh bangunan fiqh Islam sepanjang zaman. Fiqih shahabi memberikan dua macam pola pendekatan terhadap syari'ah yang kemudian melahirkan tradisi fiqh yang berbeda. Ikhtilaf di antara para sahabat, selain mewariskan kemusykilan bagi kita sekarang, juga seperti kata 'Umar ibn Abdul Aziz menyumbangkan khazanah yang kaya untuk memperluas pemikiran. Tentu saja, untuk itu diperlukan penelaahan kritis terhadapnya. Sayang sekali, sikap kritis ini telah "dimatikan" dengan vonnis zindiq oleh sebagian ahli hadits. Ada dua sikap ekstrim terhadap sahabat yang harus dihindari: menghindari sikap kritis atau melakukan sikap hiperkritis. Ketika banyak orang marah karena 'Umar dikritik,'Umar sendiri berkata, "Semoga Allah meyampaikan kepadaku kesalahan-kesalahanku sebagai suatu bingkisan”.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
• Zainal Abidin Ahmad, Drs., Ushul Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.
• Wahbah al-zuhaili, Ilm Ushul a-Fiqh al-Islamy, Dar al-Fikr, Bairut, 1986.
• Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama RI, Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, Jakarta.
• Satria Efendi, Prof.Dr., Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2005.
• Mukhtar Yahya, Prof, DR, dan Fatchurrahman, Prof, Drs, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islami, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1993.
Kajian mengenai mazhab sahabi menjadi salah satu tema meanrik dikalangan ahli ushul fiqh, meskipun mereka menempatkannya dalam bahasan dalil syara’ yang diperselisihkan. Bahkan, menurut Amir Syarifuddin, Aznawi dalam bukunya Syarh Minhaj al-Ushul menempatkan mazhab sahabi sebagai dalil syara’ yang ditolak.
Dengan demikian mazhab sahabi berbeda dengan ijma’ sahabi yang mempunyai kedudukan yang kuat dan tinggi sebagai dalil syara’ karena kehujjahannya diterima semua ahli usul fiqh. Bahkan ijma’ sahabat dipandang lebih kuat dari nash sebagai pernyataan para ahli ushul berikut:
االاحماع اقوى من النص
“ijma’ itu lebih kuat dari Nash”
Pengertian Mazhab Sahabi
Yang dimaksud dengan mazhab sahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW.tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib, ahli hadist berkebangsaan Syiria, dalam karyanya Ushul al- Hadits adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah. Misalnya Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Sabit, Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib. Mereka ini adalah di antara para sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum Islam.
Bentuk-Bentuk Mazhab Sahabi
Dalam pandangan Abu Zahrah, fatwa sahabat terdiri dari beberapa bentuk :
1) Apa yang disampaikan sahabat itu berupa berita yang didengarnya dari Nabi, tetapi ia tidak menyatakan bahwa berita itu sebagai sunnah Nabi saw.
2) Apa yang diberitakan sahabat itu sesuatu yang didengarnya dari orang yang pernah mendengarnya dari Nabi, tetapi orang tersebut tidak menjelaskan bahwa yang didengarnya itu berasal dari Nabi.
3) Sesuatu yang disampaikan sahabat itu merupakan hasil pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang orang lain tidak memahaminya.
4) Sesuatu yang disampaikan sahabat telah disepakati lingkungannya, namun yang menyampaikan hanya sahabat itu hanya seorang diri.
5) Apa yang disampaikan sahabat merupakan hasil pemahamannya atas dalil-dalil karena kemampuannya dalam bahasa dan dalam penggunaan dalil lafal.
D. Kehujahan Mazhab Sahabi
Mazhab sahabi pada dasarnya adalah fatwa atau pendapat sahabat Nabi Saw. Dalam menentukan kehujjahan atau kekuatan mazhab sahabi sebagai dalil hukum terkait dengan bentuk dan asal fatwa sahabat tersebut. Dalam hal ini, permasalahan yang dibahas dalam Ushul Fiqh dalam kaitan ini adalah, apakah fatwa-fatwa mereka itu harus diikuti para mujtahid setelah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ dalam menetapkan hukum atau tidak. Dalam hal ini, Abdul Karim Zaidan membagi pendapat sahabat ke dalam empat katagori, yaitu :
1) Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad. Misalnya fatwa Ibnu Mas’ud, bahwa batas minimal waktu haid tiga hari, dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa-fatwa seperti ini bukan merupakan hasil ijtihad para sahabat dan besar kemungkinan hal itu mereka terima dari Rasulullah. Oleh karena itu, fatwa-fatwa semacam ini disepakati menjadi landasan hukum bagi generasi sesudahnya.
2) Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas di kalangan mereka dikena dengan ijma’ sahabat. Fatwa seperti ini menjadi pengangan bagi generasi sesudahnya.
3) Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat lain. Para mujtahid di kalangan sahabat memang sering menjadi perbedaan pendapat dalam satu masalah, namun dalam hal ini fatwa seorang sahabat tidak mengikat ( diikuti) sahabt yang lain.
4) Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.
Ulama berbeda pendapat tentang fatwa sahabat secara perorangan tersebut dapat merupakan hasil ijtihad, apakah mengikat ngenarasi sesudahnya atau tidak nengikat. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, dan menurut Wahbah az-zuhaili, beberapa pendapat itu dapat disimpulkan kepada dua pendapat, sebagai berikut:
1. Kalangan Hanafiah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin Hambal, bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan oleh generasi sesudahnya. Alasan mereka antara lain:
a. Firman Allah SWT:
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.(QS.Ali Imran/3:110).
Ayat ini menjelaskan bahwa umat Islam merupakan umat terbaik yang diciptakan Allah dari sekalian manusia dengan misi menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Umat Islam yang dimaksud dalam ayat ini adalah para sahabat Nabi Saw. Misi yang merek ajalankan haruslah diikuti dan dijalankan umat Islam sesudah mereka.
b. Sabda Rasulullah Saw :
ااًًصحابى كالنجوم باْيهم اقتديتم اهتديتم
Artinya: “para sahabatku bagaika bintang-bintang, siapa pun diantara mereka yang kalian ikuti, maka kalian akan mendapat petunjuk”. (HR.Abu Daud).
Dalam Hadist lain, Nabi Saw bersabda :
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الارشدين من بعدي
Artinya: “Adalah kewajibanmu untuk mengikuti SunnahKu dan Sunnah Khulafa al-Rasyidin yang dating sesudahku.”( HR. Ibnu Majah).
Kedua Hadits tersebut menurut ulama yang menerim kehujjahan fatwa sahabat memahami kedua hadits ini sebagai perintah bagi umat Islam untuk mengikuti fatwa sahabat.
2. Kalangan Mu’tazilah , Syiah dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hambal bahwa fatwa sahabat tidak menikat generasi seterusnya atau sesudanya. Di antara alasan yang mereka kemukakan adalah:
a. Firman Allah SWT :
…........
Artinya: “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (QS. Al-Hasyr/59:2).
Menurut kalangan ulama yang berpegang pada pendapat ini, perintah ayat tersebut untuk “mengambil pelajaran” adalah perintah melakukan ijtihad. Jadi, ayat ini memerintahkan mereka yang memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad. Hal ini baru bisa terwujud manakala seorang yang disebut mujtahid tidak mengikuti pendapat atau fatwa sahabat. Apabila mereka mengikuti pendapat sahabat berarti bertentangan dengan kehendak ayat yang memerintahkan mereka melakukan ijtiad.
b. Para sahabat bukanlah termasuk orang yang dijamin Allah maksum ( bebas dari dosa dan kesalahan), sama halnya dengan para mujtahid lainnya. Oleh karena itu, fatwa mereka munkin saja ada yang keliru. Sesuatu yang mengandung kemungkinan keliru tidak boleh diikuti.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, ahli Ushul Fiqh berkebangsaan Mesir, menganggap pendapat yang pertama, yaitu bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan, lebih kuat untuk dipegang. Alasanya, bahwa para sahabat adalah generasi yang paling dekat dengan Rasulullah. Mereka banyak menyaksikan pembentukan hukum dari Rasulullah dan banyak mengetahui tentang latar belakang turunya ayat, serta orang yang paling tahu, setealah Rasulullah, tentang maksud dari ayat atau hadits Rasulullah. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih dapat dipercaya sehinngga lebih harus dijadikan rujukan.
E. Beberapa contoh Fatwa Sahabat
Di antara contoh fatwa-fatwa sahabat sebagai berikut:
1) Fatwa Aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita dua tahun melalui ungkapannya: ”anak tidak berada dalam perut ibunya lebih dari dua tahun”.
2) Fatwa Anas bin Malik yang menerangkan tentang masa minimal haid seorang wanita, yaitu tiga hari.
3) Fatwa Umar bin Khattab tentang laki-laki yang menikahi wanita yang sedang dalam masa iddah harus dipisahkan dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut untuk selamanya.
Kesimpulan
Fiqh para sahabat khususnya seperti diwakili oleh al-Khulafa, al-Rasyidun adalah fondasi utama dari seluruh bangunan fiqh Islam sepanjang zaman. Fiqih shahabi memberikan dua macam pola pendekatan terhadap syari'ah yang kemudian melahirkan tradisi fiqh yang berbeda. Ikhtilaf di antara para sahabat, selain mewariskan kemusykilan bagi kita sekarang, juga seperti kata 'Umar ibn Abdul Aziz menyumbangkan khazanah yang kaya untuk memperluas pemikiran. Tentu saja, untuk itu diperlukan penelaahan kritis terhadapnya. Sayang sekali, sikap kritis ini telah "dimatikan" dengan vonnis zindiq oleh sebagian ahli hadits. Ada dua sikap ekstrim terhadap sahabat yang harus dihindari: menghindari sikap kritis atau melakukan sikap hiperkritis. Ketika banyak orang marah karena 'Umar dikritik,'Umar sendiri berkata, "Semoga Allah meyampaikan kepadaku kesalahan-kesalahanku sebagai suatu bingkisan”.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
• Zainal Abidin Ahmad, Drs., Ushul Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.
• Wahbah al-zuhaili, Ilm Ushul a-Fiqh al-Islamy, Dar al-Fikr, Bairut, 1986.
• Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama RI, Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, Jakarta.
• Satria Efendi, Prof.Dr., Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2005.
• Mukhtar Yahya, Prof, DR, dan Fatchurrahman, Prof, Drs, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islami, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1993.
0 komentar:
Posting Komentar