Pertanyaan :
Apakah boleh berpartisipasi dengan kalangan non muslim dalam hari-hari Raya mereka, seperti hari ulang tahun misalnya?
Jawaban :
Alhamdulillah. Seorang muslim tidak boleh berpartisipasi dalam hari-hari perayaan mereka dan turut menunjukkan kegembiraan dan keceriaan bersama mereka dalam memperingatinya, atau ikut libur bersama mereka, baik itu peringatan yang bersifat keagamaan atau keduniawiaan. Karena itu menyerupai musuh-musuh Allah yang memang diharamkan, selain juga berarti menolong mereka dalam kebatilan. Diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa yang menyerupai satu kaum berarti termasuk golongan mereka.”
Sementara Allah juga berfirman (yang artinya) :
“Bertolong-tolonganlah dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan; bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Keras siksanya..” (QS.Al-Maa-idah : 2)
Maka kami nasihat agar Anda menelaah kibat Iqtidhaa-ush Shiratil Mustaqiem karya Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah– sebuah buku yang amat bermutu sekali dalam persoalan tersebut. Wabillahit Taufiq. Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Saudi Arabia, Dewan Tetap Arab Saudi untuk riset-riset Ilmiyah dan Fatwa, fatwa nomor 2540)
Pertanyaan :
Apa hukum syariat tentang partisipasi dalam perayaan atau even-even tahunan, seperti Hari Keluarga Internasional, Hari Cacat Nasional, Hari Manula Nasional, atau seperti perayaan-perayaan keagamaan semacam Isra dan Mi’raaj, Maulid Nabi, Hari Hijrah dan sejenisnya? Caranya dengan menyebarkan buletin, atau mengadakan ceramah-ceramah dan seminar Islam untuk memberi peringatan kepada orang banyak dan menasihati mereka?
Jawaban :
Al-Hamdulillah. Semua perayaan tahunan dan pertemuan tahunan tersebut adalah Hari-hari Raya bid’ah dan ajaran bid’ah yang tidak pernah diturunkan oleh Allah penjelasan tentang hal itu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Berhati-hatilah terhadap amalan yang dibuat-buat. Setiap amalan yang dibuat-buat adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi serta yang lainnya)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Masing-masing kaum memiliki Hari Raya, dan ini adalah Hari Raya kita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah– mengulas persoalan tersebut secara panjang lebar dalam buku beliau Iqtidha-ush Shiratil Mustaqiem Mukhalafata Ash-habil Jahiem, berkaitan dengan kecaman terhadap berbagai Hari Raya bid’ah yang tidak ada asalnya dalam ajaran Islam yang lurus. Adapun kerusakan yang terkandung dalam acara-acara tersebut, tidak setiap orang, bahkan juga kebanyakan orang tidak dapat mengetahui kerusakan yang terkandung dalam bentuk bid’ah semacam itu. Apalagi bentuk bid’ah itu adalah bid’ah dalam ibadah syariat. Hanya kalangan cerdik pandai dari para ulama yang dapat mengetahui kerusakan yang terdapat di dalamnya.
Kewajiban umat manusia adalah mengikuti ajaran Kitabullah dan Sunnah Rasul, meskipun ia belum bisa mengetahui maslahat dan kerusakan yang terdapat di dalamnya. Dan bahwasanya orang yang membuat-buat satu amalan pada hari tertentu dalam bentuk shalat, puasa, membuat makanan, banyak-banyak melakukan infak dan sejenisnya, tentu akan diiringi oleh keyakinan hati. Karena ia pasti memiliki keyakinan bahwa hari itu lebih baik dari hari-hari lain. Karena kalau tidak ada keyakinan demikian dalam hatinya, atau dalam hati orang yang mengikutinya, tidak akan mungkin hati itu tergerak untuk mengkhususkan hari tertentu atau malam tertentu dengan ibadah tersebut. Mengutamakan sesuatu tanpa adanya keutamaan adalah tidak mungkin.
Kemudian Hari Raya (Ied) bisa menjadi nama untuk tempat perayaan, waktu perayaan, atau pertemuan pada perayaan tersebut. Ketiganya memunculkan beberapa bentuk bid’ah. Adapun yang berkaitan dengan waktu, ada tiga macam. Terkadang di dalamnya juga tercakup sebagian bentuk tempat dan aktivitas perayaan.
Pertama: Hari yang secara asal memang tidak dimuliakan oleh syariat, tidak pernah pula disebut-sebut oleh para ulama As-Salaf. Tidak ada hal yang terjadi yang menyebabkan hari itu dimuliakan.
Yang kedua: Hari di mana terjadi satu peristiwa sebagaimana terjadi pada hari yang lain, tanpa ada konsekuensi menjadikannya sebagai musim tertentu, para ulama As-Salaf juga tidak pernah memuliakan hari tersebut. Maka orang yang memuliakan hari itu, telah menyerupai umat Nashrani yang menjadikan hari-hari terjadinya beberapa peristiwa terhadap Nabi Isa sebagai Hari Raya. Bisa juga mereka menyerupai orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Hari Raya itu adalah syariat yang ditetapkan oleh Allah untuk diikuti. Kalau tidak, maka akan menjadi bid’ah yang diada-adakan dalam agama ini.
Demikian juga banyak bid’ah yang dilakukan masyarakat yang meniru-niru perbuatan umat Nashrani terhadap hari kelahiran Nabi Isa -’Alaihissalam– , bisa jadi untuk menunjukkan kecintaan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memuliakan beliau. Perbuatan semacam itu tidak pernah dilakukan oleh generasi As-Salaf, meskipun yang mengharuskannya (bila memang boleh) sudah ada, dan tidak ada hal yang menghalangi.
Yang ketiga: Hari-hari di mana dilaksanakan banyak syariat, seperti hari Asyura, hari Arafah, dua Hari Raya dan lain-lain. Kemudian sebagian Ahli Bid’ah membuat-buat ibadah pada hari itu dengan keyakinan bahwa itu merupakan keutamaan, padahal itu perbuatan munkar yang dilarang. Seperti orang-orang Syi’ah Rafidhah yang menghaus-hauskan diri dan bersedih-sedih pada hari Asyura’ dan lain-lain. Semua itu termasuk perbuatan bid’ah yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, tidak pula oleh para generasi As-Salaf atau Ahli Bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun mengadakan pertemuan rutin yang berlangsung secara terus menerus setiap minggu, setiap bulan atau setiap tahun selain pertemuan-pertemuan yang disyariatkan, itu meniru pertemuan rutin dalam shalat lima waktu, Jumat, Ied dan Haji. Yang demikian itu termasuk bid’ah yang dibuat-buat.
Dasarnya adalah bahwa seluruh ibadah-ibadah yang disyariatkan untuk dilakukan secara rutin sehingga menjadi sunnah tersendiri dan memiliki waktu pelaksanaan tersendiri kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah. Semua itu sudah cukup menjadi syariat bagi hamba-hamba-Nya. Kalau ada semacam pertemuan yang dibuat-buat sebagai tambahan dari pertemuan-pertemuan tersebut dan dijadikan sebagai kebiasaan, berarti itu upaya menyaingi syariat dan ketetapan Allah. Perbuatan itu mengandung kerusakan yang telah disinggung sebelumnya. Lain halnya dengan bentuk bid’ah yang dilakukan seseorang sendirian, atau satu kelompok tertentu sesekali saja.”
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, seorang muslim tidak boleh berpartisipasi pada hari-hari yang dirayakan setiap tahun secara rutin, karena itu menyaingi Hari-hari Raya kaum muslimin sebagaimana telah kita jelaskan sebelumnya. Tetapi kalau dilakukan sekali saja, dimisalkan seorang muslim hadir di hari itu untuk memberikan penjelasan kepada kaum muslimin lainnya dan menyampaikan kebenaran kepada mereka, maka tidak apa-apa, insya Allah. Wallahu A’lam.
(Sumber : Masail wa Rasaail, Muhammad Al-Humud An-Najdi hal. 31. Dari Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta)
Diambil dari Darussalaf
lama
11 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar